Reda Perang Dagang AS-China, RI Bersiap Jadi Magnet Investasi Asing

Sahrul

Angin perubahan mulai terasa di pasar global. Usainya perseteruan dagang antara dua raksasa ekonomi dunia—Amerika Serikat dan China—berpotensi menjadi katalis positif bagi Indonesia, terutama dalam menyerap arus modal dari luar negeri.

Ketika dua negara adidaya memutuskan menurunkan tensi persaingan dagangnya, iklim keuangan global pun ikut berubah. Sejumlah investor internasional yang sebelumnya waswas menghadapi gejolak kini kembali menaruh kepercayaan untuk menyuntikkan dananya ke negara-negara berkembang, salah satunya Indonesia. Hal ini menjadi titik terang bagi peningkatan Foreign Direct Investment (FDI) ke Tanah Air.

Bank Indonesia mencatat adanya arus modal asing masuk pada periode 5 hingga 8 Mei 2025. Dalam rentang waktu singkat itu, investor global mencatatkan pembelian bersih sebesar Rp0,12 triliun. Rinciannya, tercatat penjualan bersih Rp2,70 triliun di pasar saham dan Rp4,07 triliun di instrumen Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI), namun dikompensasi oleh pembelian bersih Rp6,88 triliun di pasar Surat Berharga Negara (SBN).

Stabilitas nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika turut menjadi oase di tengah ketidakpastian global. Kepastian nilai tukar ini bukan hanya memberi kenyamanan bagi pelaku usaha lokal, tapi juga memberi sinyal positif bagi pemilik modal untuk menanamkan investasi dalam jangka panjang.

Lebih dari sekadar stabilitas moneter, peluang ekspor Indonesia juga terbuka lebar. Saat AS dan China mulai menjajaki hubungan dagang baru dengan negara mitra lain, Indonesia pun berpotensi menjadi alternatif penting dalam pasokan barang dan jasa, terutama barang-barang yang terkena beban tarif tinggi di antara kedua negara itu.

Di sisi lain, perusahaan multinasional yang selama ini menggantungkan proses manufakturnya di China mulai membuka opsi diversifikasi. Dalam konteks inilah, Indonesia tampil sebagai opsi menjanjikan—bak pelabuhan baru bagi kapal rantai pasok global yang ingin menghindari badai geopolitik.

Dengan atmosfer pasar yang mulai bersahabat dan tensi ekonomi dunia yang melunak, industri domestik—khususnya sektor manufaktur dan komoditas—mendapat suntikan energi positif. Ini menjadi peluang emas yang harus ditangkap pemerintah dengan memperkuat instrumen kebijakan investasi serta mempercepat perbaikan infrastruktur dan kualitas tenaga kerja.

Rupiah Mulai Jadi Sorotan Investor

Perdamaian antara dua kekuatan ekonomi global tidak hanya berdampak pada arus investasi, tetapi juga memberi ruang bagi mata uang di kawasan Asia untuk bersinar kembali. Emerging market seperti Indonesia diprediksi akan menjadi medan baru bagi para investor yang ingin memanfaatkan momentum lemahnya daya pikat dolar AS.

Sejumlah mata uang di kawasan Asia—mulai dari won Korea Selatan, rupiah Indonesia, hingga rupee India—mulai dilirik karena dianggap masih “murah” secara nilai fundamental. Hal ini memberikan peluang bagi pelaku pasar untuk meraup cuan dari fluktuasi yang menguntungkan.

Tak hanya didorong oleh valuasi yang menarik, optimisme juga tumbuh dari rangkaian stimulus ekonomi China dan perkembangan positif dalam diskusi antara Beijing dan Washington. Situasi ini menjadi pupuk yang menyuburkan keyakinan pasar di Asia.

“Secara fundamental, sudah lama undervalued,” kata Claudia Calich, kepala EM debt at M&G Investment Management.

Namun, jika dilihat dari data Refinitiv hingga 13 Mei 2025, rupiah masih menjadi salah satu mata uang yang menunjukkan kinerja negatif secara year-to-date, dengan pelemahan sebesar 2,61%. Ini bertolak belakang dengan yen Jepang dan won Korea Selatan yang justru menguat masing-masing 5,55% dan 4,17%.

Meski demikian, titik balik mulai terlihat. Awal bulan ini, mata uang Taiwan melonjak tajam—sebuah sinyal yang bisa menjadi indikator bahwa momentum perbaikan nilai tukar di Asia mulai terbentuk. Mata uang negara berkembang yang sempat terpuruk karena gelombang perang tarif pun kini punya peluang untuk kembali ke permukaan.

Also Read

Tags

Leave a Comment