Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, menyatakan kesiapannya untuk mempertimbangkan kemungkinan gencatan senjata sementara di Jalur Gaza. Pernyataan ini muncul di tengah derasnya tekanan dari komunitas internasional terhadap operasi militer terbaru Israel serta blokade ketat terhadap bantuan kemanusiaan di wilayah tersebut.
“Jika ada opsi untuk gencatan senjata sementara demi membebaskan sandera, kami akan siap,” tegas Netanyahu. Dia juga menambahkan bahwa sekitar 20 sandera yang ditahan oleh kelompok Hamas dan sekutunya diyakini masih hidup.
Meskipun demikian, Netanyahu menegaskan bahwa tujuan utama operasi militer Israel tetap untuk menguasai seluruh kawasan Gaza. Ia mengibaratkan pentingnya menjaga kebebasan operasi militer sembari menghindari krisis kemanusiaan yang lebih parah.
“Kita harus menghindari krisis kemanusiaan demi menjaga kebebasan tindakan operasional kita,” ujarnya.
Pernyataan ini hadir setelah insiden menegangkan di wilayah Tepi Barat, di mana pasukan Israel melepaskan tembakan peringatan terhadap delegasi diplomat asing yang tengah berkunjung. Aksi ini memicu kecaman internasional dan menambah ketegangan diplomatik yang kian memanas.
Kementerian Luar Negeri Palestina mengecam tindakan militer Israel yang dianggap “sengaja menargetkan dengan tembakan langsung delegasi diplomatik yang terakreditasi” di kawasan dekat kota Jenin, yang dikenal sebagai titik panas konflik.
Seorang diplomat Eropa menjelaskan bahwa rombongan itu berada di lokasi untuk mengamati dampak dari penggerebekan militer Israel selama beberapa bulan terakhir. Pihak militer Israel berdalih bahwa delegasi tersebut “menyimpang dari rute yang telah disetujui” dan memasuki zona terbatas, sehingga mereka melepaskan tembakan peringatan untuk mengusir rombongan keluar dari area tersebut. Tidak ada korban jiwa dalam insiden tersebut, dan militer menyatakan penyesalan atas “ketidaknyamanan yang ditimbulkan.”
Insiden ini menuai kecaman dari berbagai negara seperti Belgia, Kanada, Mesir, Prancis, Jerman, Italia, Portugal, Belanda, Spanyol, Turki, Uruguay, dan juga Uni Eropa. Kepala kebijakan luar negeri Uni Eropa, Kaja Kallas, meminta agar Israel melakukan penyelidikan atas penembakan tersebut dan memastikan “pihak yang bertanggung jawab diberi pertanggungjawaban.”
Di tengah gejolak konflik, krisis kemanusiaan di Gaza semakin memburuk. Warga Palestina berjuang keras memenuhi kebutuhan dasar setelah berpekan-pekan terisolasi hampir total akibat blokade ketat. Laporan dari tim penyelamat lokal menyebutkan bahwa serangan udara Israel yang terjadi pada malam sebelumnya menewaskan sedikitnya 19 jiwa, termasuk seorang bayi berusia satu minggu.
Setelah lebih dari dua bulan blokade penuh, akses bantuan baru saja mulai dilonggarkan pekan ini. Untuk pertama kalinya sejak awal Maret, beberapa bantuan diizinkan masuk ke Gaza, meski jumlah pasokan makanan dan obat-obatan masih jauh dari memadai.
Israel mengumumkan bahwa 100 truk bantuan telah melewati perlintasan Kerem Shalom pada Rabu, menyusul 93 truk yang masuk sehari sebelumnya. Namun, menurut juru bicara Sekretaris Jenderal PBB, Stephane Dujarric, hingga pukul 16.00 GMT pada hari yang sama, “tidak ada pasokan yang berhasil keluar dari area pemuatan di Kerem Shalom” karena masalah keamanan.
Kelompok kemanusiaan mengkritik jumlah bantuan yang masuk sebagai sesuatu yang jauh dari cukup untuk mengatasi penderitaan warga Gaza. Gaza Humanitarian Foundation (GHF), sebuah organisasi swasta yang didukung Amerika Serikat, mengumumkan akan mulai menyalurkan bantuan dalam beberapa hari mendatang. Namun, PBB dan lembaga kemanusiaan konvensional menolak bekerja sama dengan GHF karena tuduhan afiliasi dengan Israel.
Umm Talal al-Masri, seorang pengungsi dari Gaza, menggambarkan situasi yang dialaminya sebagai “tak tertahankan.” Ia mengatakan, “Tidak ada yang membagikan apa pun kepada kami. Semua orang menunggu bantuan, tapi kami belum menerima apa-apa. Kami menggiling lentil dan pasta untuk membuat roti, dan hanya bisa menyiapkan satu kali makan dalam sehari.”
Di sisi lain, tekanan global terhadap Israel terus meningkat. Serangan militer yang diperkuat akhir pekan lalu ditujukan untuk melumpuhkan Hamas, yang serangannya pada Oktober 2023 lalu memicu konflik berkepanjangan ini.
Beberapa sekutu tradisional Israel, termasuk negara-negara anggota Uni Eropa, mulai mengambil sikap kritis dengan meninjau kembali perjanjian kerja sama dan perdagangan dengan Israel. Kementerian Luar Negeri Israel menilai langkah ini sebagai “mencerminkan ketidakpahaman total terhadap realitas kompleks yang dihadapi Israel.”
Sementara itu, Swedia berencana mendorong sanksi terhadap pejabat Israel di Uni Eropa, dan Inggris menghentikan negosiasi perdagangan bebas dengan Israel serta memanggil duta besarnya.
Paus Leo XIV menggambarkan situasi Gaza sebagai “mengkhawatirkan dan menyakitkan” dan menyerukan agar “bantuan kemanusiaan yang memadai bisa masuk.”
Jerman memilih untuk mempertahankan perjanjian kerja sama utama Uni Eropa dengan Israel, menyebutnya sebagai “forum penting yang harus kita gunakan untuk membahas pertanyaan-pertanyaan kritis” terkait konflik yang sedang berlangsung.
Operasi militer Israel yang berlanjut sejak 18 Maret lalu mengakhiri gencatan senjata selama dua bulan. Serangan Hamas pada Oktober 2023 telah menewaskan 1.218 orang di Israel, kebanyakan warga sipil, menurut data AFP berdasarkan sumber resmi. Selain itu, 251 orang dilaporkan diculik oleh militan, dengan 57 masih ditahan di Gaza, dan 34 di antaranya dipastikan telah meninggal dunia menurut militer Israel.
Kementerian Kesehatan Gaza mencatat bahwa sejak Israel melanjutkan operasi militer pada 18 Maret, sedikitnya 3.509 orang tewas. Total korban jiwa dalam perang ini telah mencapai 53.655 jiwa.
Di Lebanon, tiga orang dilaporkan meninggal dunia akibat serangan Israel yang menargetkan kelompok Hizbullah, sekutu Hamas yang didukung Iran. Serangan ini terjadi meski ada kesepakatan gencatan senjata sebelumnya.