Langit kelabu yang selama ini menaungi hubungan ekonomi dua raksasa dunia—Amerika Serikat dan China—akhirnya sedikit cerah. Keduanya sepakat untuk menurunkan tensi konflik dagang yang telah bertahun-tahun mengguncang stabilitas ekonomi global, dengan menyetujui pemangkasan tarif impor secara sementara.
Kesepakatan ini diumumkan pada Senin (13/5) waktu setempat, menandai langkah strategis dari kedua negara dalam menghindari kehancuran ekonomi yang lebih dalam. Pemerintah AS memutuskan untuk mengurangi beban pajak tambahan atas produk asal China dari 145 persen menjadi 30 persen. Sementara itu, sebagai langkah timbal balik, pihak Beijing juga melonggarkan tarif atas barang-barang buatan Amerika Serikat dari 125 persen ke level 10 persen. Kebijakan ini akan berlaku selama tiga bulan atau sekitar 90 hari ke depan.
Efek domino dari perjanjian ini langsung terasa di pasar global. Nilai tukar dolar AS mengalami penguatan, sedangkan indeks saham di berbagai bursa utama dunia melonjak. Seolah dunia bisnis menyambut kesepakatan ini dengan tarian gembira, setelah sempat terhuyung akibat gelombang ketidakpastian perdagangan bulan lalu.
Sebelumnya, keputusan mendadak Presiden Donald Trump untuk menaikkan tarif demi memangkas defisit neraca perdagangan AS sempat memicu gejolak hebat di pasar internasional. Namun kini, badai itu mulai reda.
“Dua negara berhasil mewakili kepentingan nasional masing-masing dengan sangat baik,” ujar Menteri Keuangan AS Scott Bessent usai pertemuan dengan delegasi China di Jenewa, Swiss, Senin (12/5), mengutip Reuters.
Ia juga menambahkan bahwa AS akan terus berupaya menciptakan perdagangan yang seimbang dan adil.
“Kita sama-sama ingin perdagangan yang seimbang. AS akan terus bergerak menuju arah itu,” imbuhnya.
Pernyataan itu diperkuat oleh Perwakilan Dagang AS, Jamieson Greer, yang menyampaikan bahwa kesepakatan ini menandakan komitmen kedua belah pihak untuk tidak melakukan pemisahan ekonomi secara total, atau yang dikenal sebagai decoupling.
“Tarif yang sangat tinggi itu, pada dasarnya menyerupai embargo. Tidak ada yang menginginkan itu. Kita menginginkan perdagangan,” kata Greer.
Selama ini, perseteruan ekonomi antara AS dan China ibarat dua gajah bertarung di tengah pasar, menyebabkan kerugian global yang tidak sedikit. Nilai perdagangan antar keduanya sempat terjun bebas hingga US$600 miliar, atau sekitar Rp9.600 triliun jika mengacu pada kurs Rp16 ribu per dolar AS. Gangguan rantai pasokan global, pemangkasan tenaga kerja di berbagai sektor, dan ancaman inflasi stagnan atau stagflasi menjadi konsekuensi nyata.
Pertemuan bersejarah di Jenewa ini sekaligus menjadi diskusi langsung pertama antara para pejabat ekonomi senior dari kedua negara sejak Donald Trump kembali ke Gedung Putih awal tahun ini. Dalam periode tersebut, retorika proteksionis kembali menguat, terutama dalam relasi dagang dengan China.
Meskipun belum mencakup seluruh sektor industri, AS menyatakan akan melakukan penyesuaian secara bertahap pada bidang-bidang yang dianggap vital dalam rantai produksi global.
“Penyesuaian ini akan difokuskan pada sektor-sektor penting seperti obat-obatan, semikonduktor, dan baja yang kami anggap krusial dari sisi rantai pasok,” ujar Bessent.
Dengan langkah ini, AS dan China tampaknya berusaha menghindari pertarungan frontal dan memilih jalan damai yang memberi ruang napas bagi ekonomi global yang sempat sesak oleh konflik berkepanjangan. Dunia kini menanti, apakah angin segar ini akan berhembus lebih lama atau hanya sekadar jeda dalam pusaran perang dagang yang belum sepenuhnya usai.






