Langit Gaza kembali diwarnai deru pesawat nirawak. Kali ini, targetnya adalah Rumah Sakit Indonesia—salah satu pilar layanan medis utama di wilayah utara Jalur Gaza. Serangan udara ini menjadi bagian dari rangkaian serbuan militer Israel yang kian gencar menargetkan fasilitas penyelamatan jiwa di daerah yang porak-poranda akibat konflik.
Pihak rumah sakit al-Shifa, melalui Direktur Muhammad Abu Salmiya, mengungkap bahwa intensitas serangan terhadap pusat-pusat medis telah meningkat secara signifikan dalam beberapa waktu terakhir. “Tim medis benar-benar menderita, dan kami memiliki beberapa tim medis dan staf, serta lebih banyak orang yang membutuhkan perawatan medis,” ujarnya, seperti dikutip dari Al Jazeera.
Rumah Sakit Indonesia, yang sebelumnya menjadi tumpuan harapan ribuan warga sipil untuk mendapatkan perawatan medis darurat, kini nyaris lumpuh total. Abu Salmiya menekankan bahwa kondisi ini memperkecil kemungkinan hidup bagi para pasien. Seolah satu per satu harapan warga Gaza dicabut bersama robohnya dinding-dinding rumah sakit.
Ia juga mengingatkan bahwa ribuan orang yang terluka dan sakit berada dalam ancaman kematian. Donor darah sangat dibutuhkan, kata Abu Salmiya, yang sekaligus mempertegas kondisi kritis sistem kesehatan di Gaza. Hal ini juga disuarakan secara resmi oleh Kementerian Kesehatan setempat.
Situasi semakin memburuk dengan adanya pengepungan militer Israel terhadap pusat donor darah di daerah Belt Lahiya. Abu Salmiya menggambarkan kondisi di lapangan sebagai panik dan kacau, di mana para medis dan warga sipil berjuang menyelamatkan hidup di tengah kepungan dan teror.
Kementerian Kesehatan Gaza menambahkan bahwa serangan Israel telah membuat akses pasien dan tenaga medis ke rumah sakit menjadi terhenti. Dampaknya sangat fatal: operasi Rumah Sakit Indonesia terpaksa dihentikan. “Dengan penutupan Rumah Sakit Indonesia, semua rumah sakit umum di Provinsi Gaza Utara sekarang tidak beroperasi”, tegas pernyataan mereka.
Sejak sekitar satu setengah tahun terakhir, fasilitas-fasilitas kesehatan di Gaza tak henti-hentinya menjadi sasaran serangan. Tak hanya RS Indonesia, tetapi juga Rumah Sakit Kamal Adwan, al-Shifa, al-Ahli, hingga al-Awda telah dibombardir, dibakar, bahkan dikepung pasukan militer. Layanan medis yang mestinya menjadi zona netral kini berubah menjadi medan perang.
Lebih dari sekadar bangunan, rumah sakit-rumah sakit itu menjadi simbol perlawanan terhadap kehancuran. Namun kini, simbol itu mulai runtuh. Puluhan pusat kesehatan, mobil ambulans, dan fasilitas penunjang lainnya ikut menjadi korban dalam konflik yang tiada henti ini.
Secara hukum internasional, tindakan menyerang rumah sakit, tenaga medis, dan pasien dilindungi oleh Konvensi Jenewa 1949. Maka dari itu, penargetan fasilitas tersebut dianggap sebagai bentuk pelanggaran berat atau kejahatan perang.
Tidak hanya Gaza utara yang merasakan kepedihan, wilayah tengah dan selatan pun tidak luput dari gempuran. Rumah Sakit Al-Aqsa di Deir el-Balah serta Kompleks Medis Nasser di Khan Younis turut diserang. Pada awal pekan ini, dua rumah sakit di Khan Younis dihujani rudal. Setidaknya sembilan peluru kendali menghantam area sekitar RS Gaza Eropa, menewaskan sedikitnya 16 jiwa. Di lokasi lain, serangan ke Kompleks Medis Nasser menewaskan dua orang, termasuk seorang jurnalis yang sedang menjalani perawatan.
Rangkaian serangan ini membuat sistem kesehatan Gaza nyaris ambruk total. Tenaga medis kini kehabisan obat-obatan untuk penyakit biasa, apalagi untuk trauma perang. Gaza kini ibarat tubuh yang berdarah tanpa perban—tak mampu lagi merawat dirinya sendiri.
Di bawah tekanan blokade berkepanjangan, krisis ini terus memburuk. Israel menutup rapat masuknya bantuan penting seperti obat-obatan, bahan bakar, makanan, hingga air bersih. Rumah sakit, yang dulunya tempat mencari harapan, kini berada di ambang kehancuran mutlak—tercekik perlahan dalam pengepungan yang tidak berperikemanusiaan.






