Ketegangan di kawasan Himalaya kembali membara, kali ini dipicu oleh serangan bersenjata brutal terhadap para wisatawan di kawasan Pahalgam, Kashmir—wilayah yang selama puluhan tahun menjadi sumbu panas antara India dan Pakistan. Tragedi berdarah ini menewaskan 26 orang tak berdosa dan memantik amarah di kedua sisi.
Kondisi yang kian mengkhawatirkan ini mendorong Amerika Serikat untuk mengambil peran aktif sebagai mediator. Tak ingin api permusuhan menjalar menjadi kobaran perang skala besar antara dua negara berkekuatan nuklir, Washington turun tangan menyeimbangkan bara konflik.
Dalam pernyataan pada Kamis (1/5/2025), Wakil Presiden AS JD Vance menggarisbawahi bahwa Pakistan perlu mengambil langkah nyata dalam memburu pelaku serangan, terutama karena kelompok bersenjata yang dicurigai diyakini beroperasi dari wilayah yang berada di bawah kontrol Islamabad.
“Harapan kami di sini adalah bahwa India menanggapi serangan teroris ini dengan cara yang tidak mengarah pada konflik regional yang lebih luas,” kata Vance dalam sebuah wawancara dengan Fox News, dikutip Jumat (2/5/2025).
“Dan kami berharap, sejujurnya, bahwa Pakistan, sejauh mereka bertanggung jawab, bekerja sama dengan India untuk memastikan bahwa para teroris yang terkadang beroperasi di wilayah mereka diburu dan ditangani,” tambahnya.
Suara senada juga datang dari Menteri Luar Negeri AS, Marco Rubio, yang menjalin komunikasi intensif dengan para pejabat utama India dan Pakistan. Lewat percakapan telepon diplomatik, Rubio mendorong kedua negara untuk meredam ketegangan dan menghindari bentrokan bersenjata yang lebih luas.
Menurut Departemen Luar Negeri AS, dalam diskusinya dengan Menlu India Subrahmanyam Jaishankar, Rubio:
“menyatakan kesedihannya atas hilangnya nyawa dalam serangan teroris yang mengerikan di Pahalgam, dan menegaskan kembali komitmen Amerika Serikat untuk bekerja sama dengan India melawan terorisme.”
Sementara dalam pembicaraan dengan Perdana Menteri Pakistan Shehbaz Sharif, Rubio:
“berbicara tentang perlunya mengutuk serangan teror pada tanggal 22 April,” dan mendesak kerja sama pejabat Pakistan dalam penyelidikan.
“Kedua pemimpin menegaskan kembali komitmen berkelanjutan mereka untuk meminta pertanggungjawaban teroris atas tindakan kekerasan keji mereka,” kata pernyataan tersebut.
Namun ketakutan akan potensi konflik terbuka tidak surut. Pernyataan dari Menteri Informasi Pakistan, Attaullah Tarar, menambah ketegangan setelah ia menyebut bahwa pihaknya memiliki:
“informasi intelijen yang kredibel bahwa India bermaksud melakukan aksi militer terhadap Pakistan dalam 24-36 jam ke depan.”
Serangan pada 22 April tersebut memang menjadi titik api terbaru dari rangkaian panjang ketegangan di wilayah Kashmir. Setelah insiden itu, India dan Pakistan saling melakukan pembalasan simbolik maupun langsung. Jalur udara antara kedua negara kini ditutup, menyusul kebijakan saling larang visa dan penangguhan perjanjian penting terkait pembagian air.
Sementara di medan militer, kedua negara unjuk gigi kekuatan. Militer Pakistan mengklaim telah menembak jatuh drone milik India yang disebut digunakan untuk aktivitas mata-mata. Sedangkan dua hari sebelumnya, Angkatan Laut India menyatakan telah melakukan uji coba rudal jarak jauh sebagai bagian dari persiapan serangan presisi.
Pertukaran tembakan di Garis Kontrol (LoC) juga telah berlangsung selama tujuh malam berturut-turut, menandai bahwa ketegangan telah menyusup hingga ke lapisan paling panas di medan perbatasan.
Dengan semua mata tertuju ke Asia Selatan, dunia berharap intervensi diplomatik mampu meredam potensi eskalasi, sebelum api kecil ini berubah menjadi letusan dahsyat yang mengguncang stabilitas kawasan.






