Ketegangan antara India dan Pakistan di wilayah Kashmir kembali menggelegak, menyusul serangan brutal terhadap wisatawan yang menewaskan lebih dari dua puluh orang pada 22 April 2025. Serangan ini telah memicu gelombang kecaman internasional, termasuk reaksi cepat dari Amerika Serikat, yang melalui Departemen Luar Negeri menyatakan tengah menjalin komunikasi intens dengan kedua negara. Pada hari Minggu (27/4/2025), juru bicara Departemen Luar Negeri AS mengungkapkan bahwa Washington mendorong kedua pihak untuk mencari “solusi yang bertanggung jawab” guna meredakan ketegangan yang semakin memuncak.
Kata juru bicara AS, “Ini adalah situasi yang terus berkembang dan kami memantau perkembangan dengan saksama. Kami telah berhubungan dengan pemerintah India dan Pakistan di berbagai tingkat.” Ia menekankan bahwa AS mendorong semua pihak untuk berusaha mencapai penyelesaian yang damai. Meskipun pemerintah AS secara terbuka menyatakan solidaritas dengan India terkait serangan tersebut, mereka tetap memilih untuk tidak mengkritik Pakistan secara langsung.
India menuduh Pakistan berada di balik serangan yang terjadi di Kashmir yang dikuasainya, namun Pakistan membantah keras tuduhan tersebut, menyerukan dilakukannya penyelidikan independen atas insiden tersebut. Departemen Luar Negeri AS turut menyatakan bahwa Amerika Serikat berdiri teguh bersama India dalam mengecam serangan teroris yang terjadi di Pahalgam, sebuah pernyataan yang juga diperkuat oleh Presiden Donald Trump dan Wakil Presiden JD Vance.
Dalam konteks hubungan bilateral, India kini dianggap sebagai mitra strategis yang semakin penting bagi Amerika Serikat, terutama di tengah upaya Washington untuk menahan pengaruh China di kawasan Asia. Sementara itu, hubungan AS dengan Pakistan mengalami penurunan setelah penarikan pasukan AS dari Afghanistan pada 2021. Michael Kugelman, analis Asia Selatan di Washington, berpendapat bahwa India kini menjadi mitra yang jauh lebih dekat dengan AS dibandingkan Pakistan. Ia menambahkan bahwa jika India memutuskan untuk membalas serangan tersebut secara militer, AS mungkin akan lebih mendukung upaya kontra-terorisme India, meskipun Washington juga terlibat dalam diplomasi global yang sibuk.
Namun, menurut Hussain Haqqani, mantan Duta Besar Pakistan untuk AS, situasi ini tidak menciptakan minat besar dari pihak AS untuk meredakan ketegangan. “India memiliki keluhan lama tentang terorisme yang berasal atau didukung dari seberang perbatasan. Pakistan punya keyakinan lama bahwa India ingin memecah belahnya. Kedua negara ini kerap larut dalam siklus ketegangan setiap beberapa tahun sekali. Kali ini, tidak ada kepentingan AS untuk menenangkan keadaan,” ujar Haqqani.
Di sisi lain, Ned Price, mantan pejabat Departemen Luar Negeri AS di bawah pemerintahan Presiden Joe Biden, memperingatkan bahwa pendekatan yang terlalu berpihak kepada India bisa memperburuk ketegangan. Ia mengungkapkan, “Administrasi Trump telah menjelaskan keinginannya untuk memperdalam kemitraan AS-India-sebuah tujuan yang patut dipuji-namun tampaknya bersedia melakukannya dengan hampir segala cara. Jika India merasa bahwa Pemerintah Trump akan mendukungnya tanpa syarat, kita mungkin akan menyaksikan eskalasi dan kekerasan yang lebih besar antara dua negara bersenjata nuklir ini.”
Krisis Kashmir sendiri bukanlah hal baru dalam hubungan India dan Pakistan. Wilayah ini telah lama menjadi sumber konflik, dengan kedua negara yang memiliki populasi mayoritas yang berbeda, India yang mayoritas Hindu dan Pakistan yang mayoritas Muslim. Kedua negara, yang juga sama-sama memiliki persenjataan nuklir, masing-masing mengklaim wilayah Kashmir secara penuh, meskipun hanya menguasai sebagian besar wilayah tersebut. Serangkaian konflik besar terkait wilayah ini telah terjadi sepanjang sejarah, dan kini ketegangan kembali muncul ke permukaan.
Perdana Menteri India, Narendra Modi, yang dikenal dengan pandangan nasionalis Hindu, bersumpah untuk memburu pelaku serangan hingga “ujung dunia,” dengan tegas menyatakan bahwa mereka yang terlibat dalam perencanaan dan pelaksanaan serangan tersebut akan dihukum melampaui imajinasi mereka. Seiring dengan itu, tekanan politik domestik di India meningkat, dengan banyak tokoh politik dan masyarakat yang mendesak agar India mengambil langkah militer terhadap Pakistan.
Serangan ini memicu serangkaian tindakan balasan, di antaranya adalah penutupan wilayah udara Pakistan untuk maskapai India, serta pembekuan Perjanjian Air Indus tahun 1960 yang mengatur pembagian sumber daya air dari Sungai Indus. Ketegangan di sepanjang garis perbatasan juga kembali meningkat, dengan baku tembak yang meletus setelah empat tahun relatif damai.
Meski kelompok militan yang kurang dikenal, The Resistance Front, mengklaim bertanggung jawab atas serangan ini melalui media sosial, badan keamanan India menyebut bahwa kelompok ini berfungsi sebagai kedok bagi organisasi militan berbasis di Pakistan, seperti Lashkar-e-Taiba dan Hizbul Mujahideen.
Di tengah ketegangan ini, dunia terus mengamati perkembangan lebih lanjut dan kemungkinan dampak yang bisa timbul dari ketegangan antara dua negara bersenjata nuklir ini.






